"Kabarnya, satu juta jiwa melayang. Terbanyak adalah mereka yang tidak tahu apa-apa, yang terjebak dalam lautan amarah. Kekasihku hilang. Tapi mungkin itu yang dia inginkan. Terbang, menuju 'Langit-Langit Surga' Seperti yang selalu dia impikan."
Dialog yang terasa menyayat hati dilontarkan oleh tokoh perempuan bernama Ning. "Kupu-Kupu Kertas" menampilkan kisah cinta yang memilukan antara Ning dengan seorang pemuda desa bernama Ihsan. Tak ada yang tahu, baik Ihsan maupun Ning, bahwa pertemuan mereka merupakan awal dari sebuah tragedi. Film ini sangat berani mengangkat konflik yang menjadi mimpi buruk bagi seluruh masyarakat Indonesia.
"Kupu-Kupu Kertas" Hadirkan Kontroversi
Film "Kupu-Kupu Kertas" disutradarai oleh Emil Heradi di bawah naungan Denny Siregar Production serta Maxima Pictures. Denny Siregar turut memproduseri film "Sayap-Sayap Patah" yang juga membuatku terpana dengan alurnya. "Kupu-Kupu Kertas" diperankan oleh Amanda Manopo sebagai Ning, Chicco Kurniawan sebagai Ihsan, Iwa K. sebagai Rekoso, Reza "Arap" Oktovian sebagai Muso, Ayu Laksmi sebagai Sulastri, Samo Rafael sebagai Rasyid, dan Fajar Nugraha sebagai Zul.
![]() |
Sampul Film "Kupu-Kupu Kertas" (Foto: Youtube/CINEMA 21) |
Review
So adorable! Salah satu film dengan genre historical drama terbaik di tahun 2024. Aku nggak akan heran kalau banyak guru sejarah yang merekomendasikan film ini ditonton untuk pelajar dengan rentang usia remaja. Plot yang disajikan nggak bertele-tele dan konsisten terhadap konflik antara PKI yang diketuai oleh Rekoso dengan nama kelompok "Bromocorah" dan GP Ansor yang dipimpin oleh Mas Rasyid. Seperti yang telah diketahui, PKI menganut prinsip "semua untuk satu dan satu untuk semua", jadi Bromocorah ingin menguasai semua ladang perkebunan dan persawahan yang dimiliki oleh warga, tak terkecuali desa-desa di sekitarnya.
Pada awal film, ditampilkan beberapa adegan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok Bromocorah. Ning sebagai anak yang dilahirkan di keluarga PKI (Rekoso) sebenarnya tidak menyukai perbuatan ayahnya tersebut. Ia diam-diam mengobati warga desa yang terluka akibat ulah ayahnya. Ketika ia mendengar kabar bahwa mereka akan kembali menyerang warga desa lainnya untuk "matok" lahan sawah dan kebun saat musim panen tiba, Ning lari untuk mencari bantuan agar para warga dapat menyelamatkan diri dari serangan Bromocorah. Dan di situlah awal pertemuannya dengan Ihsan.
Pertemuan mereka menjadikan hubungan mereka semakin dekat dan Ihsan pun membawa Ning ke beberapa tempat yang indah, karena Ning tidak pernah dibiarkan keluar rumah oleh ayahnya. Tetapi, hubungan mereka malah membawa petaka. Ihsan digambarkan sebagai sosok yang tidak ingin terikat oleh golongan mana pun, ia hanyalah pemuda yang sedang dimabuk asmara dan ingin memperjuangkan cintanya.
Bagiku, romansa yang terdapat dalam film ini sedikit banget wkwkwk. Karena memang sedari awal yang ingin ditunjukkan oleh Emil selaku sutradara, yakni kisah nyata pembantaian yang dilakukan oleh PKI terhadap 62 pemuda di Banyuwangi pada 18 Oktober 1965. Aku bisa bilang kalau film ini berani banget angkat peristiwa tersebut, yang mana ini merupakan trauma mendalam bagi masyarakat Banyuwangi.
Film ini merupakan film sejarah berkedok romansa. Tetapi, memang menyakitkan jika penonton berada dalam posisi Ning dan Ihsan. Mereka hanyalah sepasang insan yang sedang jatuh cinta dengan banyak impian dan harapan. Namun, perasaan mereka terhalang karena ideologi yang berbeda. Ning, tidak senang dengan ideologi yang dianut oleh ayahnya, karena hanya menyakiti banyak orang. Tetapi, kenyataan bahwa Ning adalah anak dari Rekoso, anak dari anggota PKI, tak dapat ia pungkiri.
Sepanjang film, banyak sekali adegan kekerasan yang disuguhkan. Konflik terbesarnya ketika penyerangan itu pecah saat GP Ansor ingin membalas perbuatan Rekoso dan antek-anteknya. Penonton dibuat merinding dan tegang ketika konflik tersebut pecah. Apalagi saat lagu "Genjer-Genjer" dinyanyikan, menambah kesan suram yang membawa penonton kembali diingatkan oleh pembunuhan pahlawan revolusi di Jakarta.
Pas nonton adegan itu, aku ngebatin "wah, gila banget ini film, berani banget asli!". Semua adegan kekerasan yang dilakukan oleh Bromocorah ditampilkan di film ini. Vibes-nya mirip ketika kita nonton film G30S-PKI, sama-sama bikin merinding! Dan adegan dari peristiwa ini menjadi titik balik pembantaian seluruh anggota PKI beserta keluarganya dan antek-anteknya. Rekoso dan keluarganya menjadi target utama, termasuk Ning. Resolusi konflik dari film "Kupu-Kupu Kertas" sebenarnya membawa kesialan terhadap hubungan Ning dan Ihsan.
Banyak yang memberikan kesan bahwa film ini mengisahkan perjalanan cinta Ning dan Ihsan yang terhalang ideologi dan berakhir tragis. Percayalah, sesungguhnya film ini mengisahkan kisah tragis keluarga yang kehilangan anaknya dan sanak saudaranya akibat ulah Rekoso. Dialog Ning yang aku kutip di awal tulisan ini menggambarkan penderitaan, keikhlasan dan rasa bersalah yang dialami olehnya.
"Kupu-Kupu Kertas" memberikan penggambaran dengan sangat jelas tentang sejarah kelam dan trauma yang diderita oleh warga Banyuwangi, salah satu daerah terdampak akibat pemberontakan yang dilakukan oleh PKI. Emil menjadikan film ini sebagai media pembelajaran dan pengingat kepada penonton agar tidak melupakan peristiwa kelam tersebut.
Jujur saja, sebagai penikmat sejarah, aku nungguin banget film ini tayang di bioskop. Tapi, pas aku ada rezeki dan kesempatan untuk nonton film ini di bioskop, aku kecewa karena ternyata film ini mendadak turun layar. Aku berharap, film-film dengan konsep seperti ini bisa lebih banyak lagi produksinya. Karena, sayang sekali film yang menerapkan konsep JASMERAH malah menjadi film yang underrated. Overall, film ini aku rate 9/10 dan sangat aku rekomendasikan untuk orang-orang yang suka dengan sejarah.